Kamis, 19 September 2013

gara gara macet

                   Salah satu kota yang terbesit dalam benak kita saat kita mendengar kata macet adalah Jakarta. Ya, ibukota negara kita ini memang tidak bisa lepas dari yang namanya macet. Kapanpun dan dimanapun. Walau begitu masih banyak sekali masyarakat Indonesia yang berjubel untuk refreshing, liburan, atau berbondong – bondong mencari kerja. Yang ada mereka akan stress di sana karena kemacetan yang melanda. Tidak peduli itu di pagi hari, siang hari, sore hari bahkan malam hari perjalanan yang normalnya Cuma butuh waktu 1 jam dengan kecepatan 60 KM per jam aja bisa – bisa molor sampai menghabiskan waktu 3 jam an.
                   Kota besar dengan seabrek perusahaan pencakar langit, mall, pertokoan yang besar, tempat wisata, dan masih banyak yang lainnya itu tetap saja menjadi ibu kota negara Indonesia tercinta ini. Padahal bapak – bapak dan ibu – ibu petinggi yang akan rapat disana sini pada ngaret jam nya,, ya maklumlah kan macet di Jakarta. Entah penduduknya yang terlalu baik untuk memaklumi kemoloran waktu atau memang terlalu baik sehingga tidak berani memarahi para petinggi dengan alasan kurang sopan tau dalam bahasa jawanya tidak sesuai dengan unggah – ungguh atau karena alasan lain.
                   Uniknya, kalau kita berada dalam sebuah rapat yang dimana rapat itu hanya beranggotakan mahasiswa mahasiswi keterlambatan merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Jika mereka di tanya kenapa terlambat jawabannya pingin niru petinggi petinggiyang kalo rapat ngaret donk. Dan kalau ada dari sebagian mereka yang on time maupun in time malah diledek atau bahkan diberi apresiasi positif oleh rekan – rekannya.
                   Kembali pada pembahasan awal, yaitu macet. Macet merupakan masalah sepele namun sangat berpengaruh pada psikis seseorang. Dan jika psikis seseorang terganggu sedikit saja itu bisa berpengaruh dengan sosialnya. Siapa sih yang harusnya disalahkan ketika macet menyerang? Motornya yang banyak dan suka nyelap-nyelip ? jalannya yang kurang besar?
                   Banyak masyrakat yang memilih angkutan umum agar kendaraan yang menggunakan jalan raya agak berkurang, namun apa yang terjadi? Pencopean, penculikan, atau bahkan bahasa jawanya penggendaman sudah biasa terjadi. Lantas, dimana keamanan, kenyamanan, dan ktentraman bangsa ini. Ada jug beberapa masyarakat yang memilih jalan kaki untuk menghindari kemacetan, tapi banyak dari mereka yang malah menjadi korban tindakan kriminal.
                   Keamanan pada diri kita itu memang tergantung pada kita. Tameng nya yang utama bukan polisi atau orang tua kita, tetapi ya diri kita sendiri ini. Pernah suatu hari kakak dari tean saya yang akan pulang ke kampung halaman. Dia saat itu menjadi penumpang dalam saah satu bis antar kota. Di dalam bis dia tertidur, dan pada saat dia bangun handpone, ipad, tablet, laptop, dompet semuanya sudah hilang. Mungkin dalam benak kita, “halah hal itu sudah biasa, dimana mana memang harus berhati – hati untuk membawa apapun. Apalagi dalam angkutan kota yang tindakan kriminalnya rawan staium akhir”. Itu jawaban sebagian orang yang hanya mendengarkan cerita itu. Karena mereka bukan korbannya.
                   Bayangkan saja jika kita yang menjadi korban, apalagi dalam laptop ada documen skripsi yang siap cetak. Pasti korban akan stress , atau terlebih lagi depresi. Uniknya negara kita ya itu, sejumlah anak masalah yang berindukkan macet dianggap sepele atau biasa karena sudah sangat meraja lela. Padahal sudah sangat sering terjadi kejadian seperti itu. Namun petugas keamanan negara sepertinya belum melakukan tindakan yang pasti untuk memperminim masalah seperti ini. Jadi, bagi kita sebagai warga Indonesia selalu waspada dalam segala situasi dan kondisi. Karena keamanan dan kenyamanan yang kita rasakan adalah tergantung pada bagaimana kita memprotect diri kita sendiri.

Ika miftachur rachmah / 12410105

Tidak ada komentar:

Posting Komentar