Salah
satu kota yang terbesit dalam benak kita saat kita mendengar kata macet adalah
Jakarta. Ya, ibukota negara kita ini memang tidak bisa lepas dari yang namanya
macet. Kapanpun dan dimanapun. Walau begitu masih banyak sekali masyarakat
Indonesia yang berjubel untuk refreshing,
liburan, atau berbondong – bondong mencari kerja. Yang ada mereka akan stress di sana karena kemacetan yang
melanda. Tidak peduli itu di pagi hari, siang hari, sore hari bahkan malam hari
perjalanan yang normalnya Cuma butuh waktu 1 jam dengan kecepatan 60 KM per jam
aja bisa – bisa molor sampai menghabiskan waktu 3 jam an.
Kota
besar dengan seabrek perusahaan pencakar langit, mall, pertokoan yang besar, tempat wisata, dan masih banyak yang
lainnya itu tetap saja menjadi ibu kota negara Indonesia tercinta ini. Padahal
bapak – bapak dan ibu – ibu petinggi yang akan rapat disana sini pada ngaret jam nya,, ya maklumlah kan macet
di Jakarta. Entah penduduknya yang terlalu baik untuk memaklumi kemoloran waktu atau memang terlalu baik
sehingga tidak berani memarahi para petinggi dengan alasan kurang sopan tau
dalam bahasa jawanya tidak sesuai dengan unggah – ungguh atau karena alasan
lain.
Uniknya,
kalau kita berada dalam sebuah rapat yang dimana rapat itu hanya beranggotakan
mahasiswa mahasiswi keterlambatan merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Jika
mereka di tanya kenapa terlambat jawabannya pingin
niru petinggi petinggiyang kalo rapat ngaret donk. Dan kalau ada dari
sebagian mereka yang on time maupun in time malah diledek atau bahkan diberi
apresiasi positif oleh rekan – rekannya.
Kembali
pada pembahasan awal, yaitu macet. Macet merupakan masalah sepele namun sangat
berpengaruh pada psikis seseorang. Dan jika psikis seseorang terganggu sedikit
saja itu bisa berpengaruh dengan sosialnya. Siapa sih yang harusnya disalahkan
ketika macet menyerang? Motornya yang banyak dan suka nyelap-nyelip ? jalannya yang kurang besar?
Banyak
masyrakat yang memilih angkutan umum agar kendaraan yang menggunakan jalan raya
agak berkurang, namun apa yang terjadi? Pencopean, penculikan, atau bahkan
bahasa jawanya penggendaman sudah
biasa terjadi. Lantas, dimana keamanan, kenyamanan, dan ktentraman bangsa ini.
Ada jug beberapa masyarakat yang memilih jalan kaki untuk menghindari
kemacetan, tapi banyak dari mereka yang malah menjadi korban tindakan kriminal.
Keamanan
pada diri kita itu memang tergantung pada kita. Tameng nya yang utama bukan polisi atau orang tua kita, tetapi ya
diri kita sendiri ini. Pernah suatu hari kakak dari tean saya yang akan pulang
ke kampung halaman. Dia saat itu menjadi penumpang dalam saah satu bis antar
kota. Di dalam bis dia tertidur, dan pada saat dia bangun handpone, ipad, tablet, laptop, dompet semuanya sudah hilang.
Mungkin dalam benak kita, “halah hal itu sudah biasa, dimana mana memang harus
berhati – hati untuk membawa apapun. Apalagi dalam angkutan kota yang tindakan
kriminalnya rawan staium akhir”. Itu jawaban sebagian orang yang hanya
mendengarkan cerita itu. Karena mereka bukan korbannya.
Bayangkan
saja jika kita yang menjadi korban, apalagi dalam laptop ada documen skripsi
yang siap cetak. Pasti korban akan stress
, atau terlebih lagi depresi. Uniknya negara kita ya itu, sejumlah anak masalah
yang berindukkan macet dianggap sepele atau biasa karena sudah sangat meraja
lela. Padahal sudah sangat sering terjadi kejadian seperti itu. Namun petugas
keamanan negara sepertinya belum melakukan tindakan yang pasti untuk
memperminim masalah seperti ini. Jadi, bagi kita sebagai warga Indonesia selalu
waspada dalam segala situasi dan kondisi. Karena keamanan dan kenyamanan yang
kita rasakan adalah tergantung pada bagaimana kita memprotect diri kita sendiri.
Ika miftachur rachmah / 12410105
Tidak ada komentar:
Posting Komentar